Sunday, May 8, 2016

Ketika "Tanpa Belajarpun Tetap Lulus", Masih Layakkah Untuk Corat-Coret Seragam dan Konvoi Jalanan?

Momen kelulusan putih abu-abu memang spesial. Tiga tahun duduk di bangku kelas, ujian demi ujian dilalui hingga akhirnya ujian akhir penentu kelulusan dihadapi. Tiga hari menjadi penentu. Usai semua dilalui, saatnya pengumuman kelulusan yang ditunggu-tunggu. Satu persatu nama dilihat dari atas dengan jari telunjuk, hingga akhirnya ada satu nama spesial tertera. Lulus! Sujud syukur spontan dilakukan, teriak kepalan tangan ke atas mengikutinya, segera berlari menuju ruang guru. Beliau-beliau dengan wajah menyejukkan satu persatu dicium tanganya. Berkat beliaulah para guru tercinta, kami bisa menyelesaikan masa abu-abu. Sambil memegang tangan beliau yang makin banyak keriputnya, sepintas terdengar "selamat ya, masa depanmu dimulai dari sekarang". Kata-kata yang selalu terngiang hingga kelak kemudian hari. Dan tak lupa, segera setelah keluar ruang guru, kami keluar berkonvoi merayakan kelulusan ini. Puas rasanya membaca 5 huruf itu. L U L U S

Itu adalah memori 16 tahun silam. Ketika ujian akhir masih bernama EBTANAS. Kami melalui ujian itu dengan bekal kami sendiri yang diperoleh dari para guru yang tersayang selama kurang lebih 2,5 tahun di bangku kelas. Tidak ada tuntutan dari guru harus lulus, hanya dari kesungguhan mereka mengajarkan ilmu pengetahuan kami tahu bahwa kamilah harapan mereka untuk melihat kami sendiri lulus dengan kemampuan sendiri. Jadi, rasa-rasanya ketika kelulusan itu datang, walau kurang terpuji, masih layak dan pantas konvoi, corat-coret seragam (hanya seragam putih-abu-abu, seragam pramuka disumbangkan ke sekolah) sebab kami berjuang sendiri. Tidak ada bantuan dari pihak guru saat ujian berlangsung. Kami sendiri yang menentukan apakah kami mau lulus atau tidak. Kami di sini berarti kalaupun ada bantuan jawaban itupun hanya dari kami sendiri para siswa. Alangkah beratnya masa itu. Tapi kini, masih konvoi, masih corat-coret seragam, masih berpesta rayakan kelulusan bahkan sampai korbankan (maaf) keperawanan demi kelulusan? Sorry to say, kalian TIDAK PANTAS melakukannya!

Masa putih abu-abu memang masih sama sekitar 3 tahun. Ujian penentu kelulusan juga masih sama, ada di akhir kelas tiga. Namun, ujian akhir kali ini bernama Ujian Nasional (UN). Yang membuat kalian tidak pantas merayakan kelulusan secara berlebihan adalah (saya ingin bertanya) apakah selama UN kalian kerjakan soal sendiri (atau anggap saja kerjasama dengan rekan seruangan itu juga sendiri)? Yakin tidak mendapat kunci jawaban dari manapun? Dari guru misalnya? Kalau iya, oke kalian masih sedikit pantas merayakannya. 

Tapi, perlu diingat kelulusan tahun ini tidak 100% ditentukan dari nilai UN saja. Ada variabel satu lagi yang bernama laporan hasil belajar setiap semester alias RAPORT. Prosentase keduanya adalah raport 40% dan UN 60%. Jadi, dengan standar nilai kelulusan 5,5 maka nilai kelulusan didapat dengan 40%xNilai Sekolah ditambah 60%xNilai UN. Mengapa kelulusan saat ini saya bilang tidak sesulit 16 tahun lalu atau ketika UN pertama kali diadakan, karena faktor raport ini yang membuat kelulusan jadi lebih mudah.

Nilai raport yang diambil adalah dari semester 3 sampai semester 5 atau raport kelas 2 dan kelas 3 semester 1. Nah, di sini ada "permainan". Sekolah ditargetkan harus meluluskan siswa-siswinya setinggi-tingginya, kalau perlu 100%. Sekolah tentu saja akan melakukan banyak cara untuk itu, salah satunya dengan meninggikan nilai raport siswanya. Dibuatlah nilai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) setinggi mungkin, tapi realistis. Tidak jarang kita mendengar kkm sebuah mata pelajaran dibuat tinggi, hingga 85 misalnya. Artinya, si siswa harus mencapai nilai itu agar sesuai kkm dan lulus atau naik kelas. Bagus, namun pada prakteknya sumber daya siswa di sekolah-sekolah saya yakin tidak akan sampai 50% yang murni bisa mencapai angka itu. Apa akibatnya, akhirnya guru mulai realistis. Remidi sudah dilakukan berulang-ulang, pengayaan juga sudah dilakukan namun hasilnya tetap di bawah kkm, jauh malah. Mau dibuat tidak naik kelas? Separuh siswa sekolah akan tidak naik kelas, apa jadinya kalau itu benar-benar dijalankan? Reputasi sekolah hancur, gak bakal ada orang tua yang mau lagi menykolahkan anaknya ke sekolah itu. Lama-lama sekolah itu akan kekurangan siswa dan akhirnya tutup. Untuk menghindari itu, "dipaksalah" nilai anak itu mencapai kkm. Bagaimana caranya? Mudah, lha wong tinggal tulis angka 85 saja di raport, selesai bukan!?!?

Alhasil, untuk mapel-mapel yang di-UN-kan ada semacam instruksi bahwa nilainya harus besar atau berarti kkm nya harus besar. Apa fungsinya? Saat kelulusan nanti itu akan sangat membantu siswa. Contoh, nilai Matikamatika di raport siswa X:
Semester 3: 85
Semester 4: 85
Semester 5: 85
Maka nilai sekolah untuk Matematika adalah rataan ketiga semester tersebut atau 85. Dengan nilai 85, maka siswa X untuk mapel Matikamatika di kontribusi kelulusan adalah 85 x 40% atau 85 x 0,4 yang berarti mencapai 34 atau 3,4. Dengan standar kelulusan 55 atau 5,5 maka si siswa X hanya butuh tambahan nilai 2,1 dari nilai UN Matikamatika. Nilai 2,1 setara dengan 35! Jadi, di UN siswa X hanya butuh nilai 35 untuk mapel Matikamatika agar bisa lulus SMA. Itupun semakin dipermudah dengan indikasi bantuan jawaban soal-soal UN oleh guru ke siswa-siswa. Bandingkan jika HANYA nilai UN sebagai penentu, berarti harus punya nilai UN Matikamatika sebesar 91,7! Hanya siswa jenius yang bisa mencapai nilai tersebut di UN Matikamatika. Jadi, tidak usah heran apalagi emosi ketika di salah satu seragam yang dicorat-coret nantinya dijumpai tulisan "TANPA BELAJARPUN TETAP LULUS!"

Sebenarnya dengan bantuan nilai raport sebagai variabel kelulusan sangat baik. Sebab, rasanya kurang adil jika 2,5 tahun bersekolah kemudian lulus tidaknya hanya ditentukan dari nilai UN saja. Namun, itu bisa baik jika proses dalam menghasilkan sebuah nilai raport juga baik. Tidak asal-asalan dan tidak ada kepentingan lain selain ingin membantu masa depan si anak. Tidak dengan embel-embel sekolah takut gak populer lagi, sekolah takut bantuan dari pusat berkurang gara-gara banyak yang tidak lulus, dan sejenisnya. Dengan "membantu" meluluskan anak menjadi mudah dengan cara-cara yang berlandaskan kasihan dan takut karena tekanan sana sini, justru itu akan menjerumuskan si anak ke masa depan yang suram. Namun, saya paham itu mencapai kondisi itu sangat sulit terwujud. Butuh kesamaan visi dan misi dari seluruh stake holder pendidikan di tanah air.

Kemendiknas harus benar-benar turun ke bawah melihat fenomena pendidikan atau sekolah-sekolah di daerah sehingga dalam membuat program kerja tidak main pukul rata. Diknas provinsi juga tidak usah memaksa diknas kabupaten membuat laporan kelulusan setinggi-tingginya, namun perhatikan prosesnya. Pun demikian dengan diknas kabupaten, jangan lantas menganaktirikan sekolah yang sedikit meluluskan siswanya, lihatlah latar belakang mengapa bisa begitu. Jangan pula terlalu mengelu-elukan sekolah dengan tingkat kelulusan tinggi sehingga membuat sekolah lain iri dan melakukan cara-cara yang instan. Sekolah juga tidak perlu takut dijauhi masyarakat hanya gara-gara siswanya banyak yang tidak lulus. Saatnya berbenah, lakukan penyaringan siswa baru dengan baik dan benar sehingga menghasilkan input yang bagus. Tidak usah mengejar kuantitas siswa namun kualitaslah yang harus diutamakan. Toh jika ini dilakukan dengan benar, masyarakat akan melihat bahwa sekolah mana yang serius membina siswa dan sekolah mana yang asal-asalan.

Sekali lagi, kalian para siswa yang lulus SMA 2-3 tahun terakhir, tidak usahlah merayakannya secara berlebihan. Sebab, kelulusan kalian bukan murni karena kerja keras kalian. Konvoi, corat-coret seragam dan hal-hal sejenis lainnya sama sekali tidak pantas untuk generasi kalian!

No comments:

Post a Comment